Grebeg Sudiro,
Akulturasi
Jawa-Tionghoa
Grebeg Sudiro adalah suatu perayaan perpaduan dari masyarakat Tionghoa-Jawa. Kata grebeg sendiri merupakan tradisi khas jawa untuk menyambut hari-hari khusus seperti: Mulud (kelahiran Nabi Muhammad), Syawal (lebaran), Idul Adha, Suro (Tahun Baru Jawa). Puncak perayaan ini ialah saat perebutan hasil bumi, makanan, dll yang disusun membentuk gunung. Tradisi rebutan didasari oleh falsafah Jawa ora babah ora mamah yang artinya, jika tidak berusaha tidak makan. Sedangkan, bentuk gunung memiliki maksud dari masyarakat jawa atas rasa syukur pada sang pencipta.
Dalam grebeg sudiro gunungan disusun dari ribuan kue keranjang, kue khas orang tionghoa saat menyambut imlek. Gunungan ini diarak disekitar kawasan Sudiroprajan, diikuti pawai dari kesenian Tionghoa dan Jawa. Dari kesenian barongsai, tarian, pakaian tradisional, adat keraton sampai kesenian kontemporer akan digelar di sepanjang jalan kawasan Sudiroprajan. Arak-arakan akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie di depan Pasar Gede. Perayaan berakhir dengan dinyalakannya lentera atau lampion berbentuk teko yang digantung di atas pintu gerbang Pasar Gede, penyalaan ini juga diikuti penyalaan lampion ditempat-tempat lain.
Suasana solo dimalam hari
Grebeg Sudiro yang notabene merupakan akulturasi Jawa - Tionghoa sudah diselenggarakan di Solo sejak tahun 2007.
Grebeg Sudiro adalah suatu perayaan perpaduan dari masyarakat Tionghoa-Jawa. Kata grebeg sendiri merupakan tradisi khas jawa untuk menyambut hari-hari khusus seperti: Mulud (kelahiran Nabi Muhammad), Syawal (lebaran), Idul Adha, Suro (Tahun Baru Jawa). Puncak perayaan ini ialah saat perebutan hasil bumi, makanan, dll yang disusun membentuk gunung. Tradisi rebutan didasari oleh falsafah Jawa ora babah ora mamah yang artinya, jika tidak berusaha tidak makan. Sedangkan, bentuk gunung memiliki maksud dari masyarakat jawa atas rasa syukur pada sang pencipta.
Dalam grebeg sudiro gunungan disusun dari ribuan kue keranjang, kue khas orang tionghoa saat menyambut imlek. Gunungan ini diarak disekitar kawasan Sudiroprajan, diikuti pawai dari kesenian Tionghoa dan Jawa. Dari kesenian barongsai, tarian, pakaian tradisional, adat keraton sampai kesenian kontemporer akan digelar di sepanjang jalan kawasan Sudiroprajan. Arak-arakan akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok Sie di depan Pasar Gede. Perayaan berakhir dengan dinyalakannya lentera atau lampion berbentuk teko yang digantung di atas pintu gerbang Pasar Gede, penyalaan ini juga diikuti penyalaan lampion ditempat-tempat lain.
Suasana solo dimalam hari
Sejarah Grebeg Sudiro
Sudiroprajan adalah sebuah kelurahan di kecamatan jebres. Sudiro atau Sudiroprajan yang terletak di sekitar Pasar Gede dan banyak dihuni penduduk Thionghoa. Ketika Indonesia dipimpin oleh (Alm.) Gusdur, tradisi-tradisi Tionghoa yang semula seperti “dipenjara” sedikit demi sedikit bisa bernafas lega. Barongsai, Liong, wushu maupun busana cheong sam dengan ciri khas merahnya semakin familiar bagi orang solo dan sekitarnya , what? Solo kota beda gt loo…...Grebeg Sudiro yang notabene merupakan akulturasi Jawa - Tionghoa sudah diselenggarakan di Solo sejak tahun 2007.
Di kawasan ini warga peranakan sudah puluhan tahun menetap dan berdampingan dengan
masyarakat jawa. Seiring waktu, di antara kedua etnis ini terjadi
perkawinan campuran dan menciptakan generasi baru. Untuk menunjukkan
akulturasi ini mereka membuat tradisi baru, Grebeg Sudiro, yang diperingati 7 hari sebelum imlek Awal mula perayaan grebeg sudiro
ialah pada tahun 2007, meskipun bukan perayaan dari masa lalu, tapi
perayaan ini merupakan pengembangan tradisi yang telah ada sebelumnya, Buk teko (dari kata buk tempat duduk dari semen di tepi jembatan atau di depan rumah, sedangkan kata teko ialah poci, tempat air teh) adalah tradisi syukuran menjelang imlek Jadi Buk Teko
adalah acara yang diadakan di jalanan dengan banyak orang yang duduk-duduk di
tepi jalan sambil makan minum.dan sudah dirayakan semenjak Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan PB X (1893-1939). Grebeg sudiro telah berkembang menjadi dialog elegan antara etnis tionghoa dan jawa
Grebeg
Sudiro diselenggarakan dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek. Seperti tradisi
grebeg lainnya, tradisi Grebeg Sudiro tgl 26 Januari 2014 tempo hari juga
ada gunungannya. Gunungan tersebut sebagai wujud persembahan kepada Dewa Bumi
yang berisi kue keranjang, bakpia Balong, bakpao, onde-onde, gembukan,
sayur mayur maupun buah-buahan yang diarak mulai dari Klenteng Tien Kok Sie
yang terletak di sebelah Pasar Gede Hardjonagoro melewati Jl. Jendral Sudirman,
Jl. RE. Martadinata (daerah Ketandan), Jl. Urip Sumoharjo dan kembali lagi
ke Pasar Gede.
Arak-arakan
gunungan yang rencananya berakhir di Pasar Gede tapi sudah ludes di
tengah jalan karena menjadi rebutan penonton yang sudah mengantri di tepi
jalan. Ada beberapa warga yang menyimpan sesuatu yang didapat untuk dijadikan
kenang-kenangan.
Sudiroprajan
merupakan daerah yang strategis untuk pemberdayakan budaya dan ekonomi. Hal
tersebut yang menjadi ide masyarakat Jawa, Tionghoa, Pemkot Solo, komunitas
Pasar Gede maupun jemaaat Klenteng Tien Kok Sie diselenggarakannya
tradisi Grebeg Sudiro.
Semoga
dengan diadakannya acara Grebeg Sudiro tiap tahun dapat mendukung
pariwisata Kota Solo dan menunjang pluralisme kebhinekaan Indonesia pada
umumnya dan Kota Solo pada khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar